Eomma by S.S Donquixote

 

jongsuk fanfic

jiyeon actor ff

 

Genre: melow-drama, romance, hurt, fanfic

Rating: PG 16

Author: S.S. Donquixote

cover: S.S. Donquixote

Cast: Park Jiyeon & Lee Jongsuk

other cast: Jinhee [OC]

*

Jongyeon / Sukyeon Couple

Disclaimer: story by Donquixote and the cast belong to GOD

Copyright © 2016

DON’T PLAGIARISM!!!!

Eomma . . .

.

.

.

Kisah ini menceritakan tentang seorang yeoja, bernama Park Jiyeon dan Jinhee, anak perempuannya. Dari semua naskah yang tertulis ditakdir, Jiyeon termasuk dalam naskah—dimana ia dihadapkan ujian atau cobaan yang terlalu berat ia jalani sebagai orangtua tunggal Jinhee.

Cerita kehidunpan Jiyeon berawal saat ia menginjak tingkat 3 sekolah menegah keatas. Mulanya Jiyeon layaknya orang lain yang biasa-biasa saja. Tidak ada masalah dan tentram. Namun berubah ketika ia bertemu dengan Jongsuk. Lee Jong Suk.

Tepatnya acara festival yang diselenggarakan setiap setahun sekali di sekolah mereka. Dan mereka mengambil organisasi yang sama, yaitu organisasi siswa intra sekolah. Jiyeon dan Jongsuk berperan dalam jalannya pelaksanaan festival sekolah. Mengatasi kekurangan atau menangani dekorasi sekolah.

Dalam kegiatan tersebut hubungan Jiyeon dan Jongsuk yang awal mulanya biasa saja, kini berkembang menjadi sesuatu. Sesuatu yang berbeda dari kata dekat.

Senyuman simpul terus tergaris seiring lirikan mata mereka bertemu. Lesung pipi yang menggemaskan enggan berhenti menampakan untuk satu sama lain. Getaran kasmaran terasa nyata. Rona merah, hanya merah yang merwanai mereka.

Bagaimana pun juga wajar bagi mereka, seorang remaja yang jatuh cinta. Berpapasan tanpa mengeluarkan kata bahkan kalimat, senyuman tersipu malu keluar begitu saja. Keluar seakan perasaan tidak bisa membohongi betapa bahagianya mereka hanya dengan berpapasan satu sama lain.

Karena hati sudah terlalu lama menahan perasaan. Jongsuk pun memberanikan dirinya mencari jawaban dari benaknya. Tentang Jiyeon begitu juga apa yang Jiyeon rasakan selama ini terhadap dirinya. Kalimat penyataan Jongsuk keluarkan saat pengunjung acara festival sekolah. Bertemu dia atap sekolah, bertepatan dengan kembang api yang mulai menghiasi langit gelap penuh bintang. Warna-warna cantik kembang api serta ayu wajah Jiyeon di mata Jongsuk. Kian terlena, apapun yang Jiyeon lakukan saat itu, Jongsuk tak berdaya. Cantik. Melibihi kata cantik.

Buquet bunga mawar bermacam warna bersembunyi di balik punggung Jongsuk. Dengan mantap Jongsuk menatap mata Jiyeon. Lalu ia mengeluarkan buquet bunga mawar di hadapan Jiyeon. Raut wajah Jiyeon terlihat terkejut dan haru. Ia tak sabar mendengar kalimat yang akan Jongsuk ucapkan.

“Jiyeon-ah, bunga dan malam ini. Aku berdiri di depanmu karena ada yang ingin aku katakan padamu. Sebelumnya hal ini pertama kali aku alami. Jadi aku belum, maksudku aku memang payah merangkai kata-kata padamu. Mianhae.” Jongsuk menelan salivanya, glup! Jongsuk benar-benar tegang. Jiyeon tersenyum melihat tingkah Jongsuk yang menurutnya lucu.

“Nae ma-eumen, badajo” ungkapnya.

Tanpa kata Jiyeon merampas buquet bunga tersebut lalu menganggukan kepala. Diwaktu bersamaan pula kembang api paling megah keluar menghiasi langit mengibaratkan perasaan yang dialami oleh Jongsuk saat itu juga.

.

.

.

Sekitar dua tahun lama hubungan mereka bangun bersama. Jongsuk berencana menjadi dokter dan Jiyeon mendukung impiannya Jongsuk. Mereka bersama-sama membagi impian bersama. Satu tujuan menuju kebahagiaan bersama. Entah jalan yang mana mereka pilih, sulit atau apapun yang terjadi mereka berbagi bersama agar terasa ringan.

Jongsuk akhirnya memperkenalkan Jiyeon pada orangtuanya. Harapan baik disebut dalam doa. Akan baik-baik saja. Namun setelah Jongsuk dan Jiyeon berhadapan dengan orangtua Jongsuk, sang ayah memberi respon negative saat mengintrogasi Jiyeon.

Jongsuk dan Jiyeon duduk bersebelahan di hadapan mereka– orangtua Jongsuk. Lembutnya pembawaan sang ibu. Tegas begitu intens sang ayah pada Jiyeon. Suasana ini seperti bayangan Jiyeon sebelumnya, mengetahui keluarga Jongsuk berlatar belakang sebagai orang terpandang, sedangkan Jiyeon seorang yatim piatu. Ia bersama keluarganya mengalami kecelakaan lalu lintas, yang Jiyeon ingat setalah kejadian tersebut Jiyeon sudah berada di panti asuhan dengan kabar kematian keluarganya.

Dan kejadian tersebut Jiyeon harus ia ceritakan kepada orangtua Jongsuk. Reaksi yang mereka berikan setelah usai mendengarnya tentu saja kecewa. Kecewa pada Jongsuk yang memilih Jiyeon, dari sekian kreteria yeoja yang orangtuanya anjurkan; berpendidikan, bermathabat dan paling utama dari kalangan atas. Jiyeon hanya mendapat point satu dari tiga. Orangtua Jongsuk menentang hubungan mereka secara terang-terangan.

Airmata nyaris keluar dari mata Jiyeon. Ia memaksa dirinya menahan airmata dalam bendung. Mengakibatkan warna merah menyala di sekitar mata.

Jiyeon merasa rendah. Sakit yang sangat perih menelan kenyataan. Jongsuk yang tak tahan dengan sikap dan perilaku orangtuanya, menyeret Jiyeon keluar dari rumah terkutuknya. Rumah yang penghuninya telah melukai Jiyeon. Hujatan pada dirinya sendiri ia layangkan. Penyesalan, seharusnya dan banyak lagi yang mewakili penyesalannya. Jongsuk telah menyakiti Jiyeon lewat keinginannya agar Jiyeon diterima tetapi sebaliknya.

.

.

.

Jongsuk tak bisa diam. Ia enggan melepas Jiyeon begitu saja. Akhirnya Jongsuk mengambil jalan pintas sendiri. Ia mengetahui betul bagaimana sifat sang ayah serta kalimat yang telah melarang Jongsuk mustahil akan luluh dengan perjuangan.

Jongsuk memutuskan bertemu dengan Jiyeon. Sebelumnya ia membelikan Jiyeon sebuah cincin mainan yang cantik. Berwarna pink pada bunga dan hijau daun. Model cincin tersebut mahkota bunga dengan rajutan daun merambat.

Jongsuk menghadap Jiyeon. Menggenggam kedua tangan Jiyeon. Merasakan dinginnya tangan mereka yang perlahan menjadi hangat. Kemudian Jongsuk memasukan cincin tersebut di jari manis Jiyeon, “Jiyeon-ah, menikahlah denganku,”

Jiyeon terkejut, “Oppa, mm-micheosseo” ujarnya gemetar.

“Aku tidak bisa hidup tanpamu, Jiyeon-ah. Kumohon terimalah. Hanya kau satu-satunya yang kumiliki saat ini. Tiada yang lain.” Ucapnya cemas.

“Cobalah pikir baik-baik, oppa. Bersamaku, impian yang kau bangun dan impian kita bersama akan hancur. Hilang, pupus sia-sia.”

“Percayalah padaku, kumohon. Impian kita masih bisa kita wujudkan bersama-sama. Tentu saja aku akan berusaha keras, tapi tanpamu duniaku tiada. Tak lagi kehangatan selain dingin perasaanku nanti.  . . . Temani aku, Jiyeon. . .” pintanya bersungguh-sungguh.

“Aku tidak bisa apalagi melihatmu mengorbankan kehidupanmu padaku. Orang macam apa aku jika tega membiarkan orang yang kusayangi menderita. Jatuh dalam hidup susah. Aku tidak bisa oppa . . “ Jiyeon menitikan airmata.

“Tapi apa yang bisa kulakukan selain memilikimu. Kau tau dalam hubungan saling mencintai harus memiiki, bukan. Jiyeon, menikahlah denganku. Aku, kau, akan baik-baik saja. Kita sudah janji akan berbagi satu sama lain. Jangan memikirkan apa yang akan terjadi dimasa depan. Lakukan saja dan hadapi apa yang terjadi bersama-sama. Kita semakin tumbuh dewasa, mungkin kita, suatu saat nanti menyesal bila kita tidak bersama-sama. Jangan sampai kita menyesal kedepannya.”

Lalu Jongsuk mendekap Jiyeon dalam pelukan. Melindungi Jiyeon yang tersiksa oleh sakit. Dan keberanian berbicara. Keyakinan Jiyeon semakin kuat pada Jongsuk. Biarpun Jiyeon masih mencemaskan hari-harinya namun bersama Jongsuk, tidak ada lagi yang Jiyeon inginkan di dunia ini.

.

.

.

Ciuman. Ciuman hangat perlahan-lahan menghanyutkan mereka dalam alunan malam. Bulan yang cahayanya menerobos masuk ke ruangan. Jongsuk dan Jiyeon kian terseret ciuman. Kini mulai dari gigitan kecil seraya hisapan lembut. Dan berubah arah miringnya kepala yang menghasilkan suara decakan, mch! Terdengar jelas dan membangkitkan kembali rasa ketagihan.

Malam itu mereka terbuai. Merengkuh di atas ranjang berbalut selimut. Seketika masalah yang menimpa mereka berdua hilang. Kini waktu dimana Jongsuk dan Jiyeon saja.

Semua yang mereka lakukan telah Jongsuk rencanakan. Yaitu kehadiran darah Jongsuk pada diri Jiyeon.  Darah tersebut yang selama ini orangtua Jongsuk harapkan menjadi penerus Jongsuk.

Bila darah Jongsuk tercampur dengan Jiyeon maka Jongsuk terbebas dari orangtuanya. Dan setelah satu minggu kemudian hasil test keluar. Jiyeon positif mengandung darah dagingnya. Dengan hasil test tersebut Jongsuk berani mendatangi orangtuanya, menghadap tanpa keraguan yang tersirat di matanya. Setiap kata ia ucapkan jelas dan tertata. Terkejut mereka mendengar kabar itu dari Jongsuk.

Dikirimlah Jiyeon jauh dari Korea. Entah dimana tempatnya, Jiyeon disembunyikan oleh sang ayah. Lantas Jongsuk berusaha mengejar kendaraan yang mengantar Jiyeon pergi jauh darinya.

Jongsuk mengendarai montornya. Sebelumnya ia memeriksa gps mobil pribadi milik orangtuanya yang berada jauh. Jongsuk menemukan satu, mobil pribadi tersebut menuju bandara. Lekas Jongsuk mengegas motornya. Ia mengendarai motor sangat cepat, di belakangnya ajudan yang dikerahkan oleh orangtuanya mengejar Jongsuk dengan mobil. Empat mobil mengejarnya.

Beberapa menit asik kejar-kejaran, akhirnya Jongsuk mendapatkan sosok mobil yang Jongsuk cari. Jongsuk menambah kecepatan. Dan benar Jiyeon berada di mobil itu. Terlihat Jiyeon memberontak ingin keluar dari modil. Suara samar-samar Jiyeon terdengar telinga Jongsuk. Memanggil nama Jongsuk. Walaupun terdengar samar, tetap terasa perih dihati.

Jongsuk memukul kaca samping pengemudi mobil dengan siku. Berkali kali ia mencoba memecahkan kaca mobil seraya mengemudi motornya, biarpun siku-sikunya terluka dan mengeluarkan darah Jongsuk tetap berusaha keras.

Pecahlah kaca mobil tersebut. Jongsuk kini merampas kendali mobil. Namun ia tidak tau ada beberapa mobil dari arah depan. Ini memaksanya mundur beberapa kali. Dan kesekian kali halangan di depannya, sebuah mobil cepat mengadang dari depan. Tak sengaja menyenggol mobil Jiyeon dan Jongsuk. Jongsuk jatuh bersama motornya terseret jauh dari jalan. Sedangkan mobil Jiyeon yang tadi selamat mengelak, tiba-tiba mobil dari belakang menabrak karena tidak tau mobil yang dikendarai Jiyeon rem mendadak. Terbang mobil tersebut, berputar-putar dan jatuh terseret ke jalan.

Jongsuk yang terkapar di jalan melihat kejadian yang menimpa Jiyeon. Lantas Jongsuk melepas helmnya. Dengan tubuh sekarat, darah mengalir keluar dari kepala serta luka di tubuhnya masih bisa merayap di jalan untuk menghampiri mobil Jiyeon.

Ajudan sang ayah tak tinggal diam. Ia memapah tubuh Jongsuk lalu memasukan Jongsuk ke mobil. Jika saja Jongsuk mempunyai tenaga yang cukup melawan ajudannya, Jongsuk sudah berlari menghampiri Jiyeon. Tapi yang ada Jongsuk di bawa pergi ke rumah sakit secepat mungkin, menjauh dari Jiyeon.

Jongsuk berusaha memberontak. Berteriak meminta dilepaskan namun hal yang mengejutkan terjadi. Terdengar suara ledakan dari belakang. Jongsuk melihatnya dari kaca mobil. Mobil yang ditunggangi Jiyeon meledak. Seketika hati Jongsuk hancur berkeping-keping.

“Jiyeon-aahhhh!!!!!”

.

.

.

6 tahun kemudian . . . .

“Eomma! Eomma! Eomma! Eomma!”

“Wae!? Waegeure, Jinhee?! Kamu dimana?”

“Eomma!”

Jinhee, gadis cillik berumur 6 tahun di depan Jiyeon tersenyum girang seraya memegang bongkahan es. Jiyeon pun jongkok, merabat pelan kepala Jinhee merambat ke lengan Jinhee. Jinhee berhasil membuat Jiyeon cemas. Mengetahui Jinhee baik-baik saja, perasaan Jiyeon menjadi tenang.

“Hee-ya, jangan teriak seperti itu lagi, eomma kan sudah bilang padamu. Eomma panic sekali bila kamu kenapa-napa,” keluh Jiyeon.

“Mianhae, eomma, aku lupa karena terlalu senang hihihhi,” kekehnya menggemaskan.

“Arraseo, lain kali kamu boleh teriak setelah berdiri di depan eomma,”

“Ne~ , aku mengerti eomma,”

“Apa yang mau kau tunjukan pada eomma,” Jiyeon tersenyum hangat pada Jinhee.

“Igeo!” tangan Jiyeon memegang benda yang di tangan Jinhee.

“Apa ini, Hee-ya?”

“Seekor katak membeku di dalam es ini eomma!” sahutnya girang.

“Deabak k k kkk! Kamu dapat dari mana?” sekarang Jiyeon juga terlihat seperti anak kecil yang kagum.

“Tadi aku bersama teman-teman bermain di sawah Doweok samchon. Saat bermain kita menemukan ini, eomma,”

“Eotteokhe, Hee-ya pasti kedinginan,”

“Ani, sebelum ke rumah, samchon membuatkan kita coklat hangat,”

“Lalu katak ini mau Hee-ya simpan di mana?”

“Dilemari es Jimin,”

“Kalau begitu cepat masukan ke lemari es sebelum meleleh,”

“Okay!” sahut Jinhee girang

.

.

.

Seiring pertumbuhan Jinhee, rahasia yang terjadi tetap Jiyeon simpan sendiri. Ia berhasil selamat dari kecelakaan sudah bersyukur mendapat kesempatan merawat Jinhee hingga sebesar itu. Meski Jiyeon selamat ia mendapat kecacatan pada matanya. Ia kehilangan pengelihatannya.

Selama ini ia merawat seorang anak sendirian di kontrakan kecil tanpa mengetahui wajah menggemaskan anaknya. Beruntung kecacatannya tidak mempengaruhi Jinhee. Jinhee tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria, Jiyeon sudah senang.

Pekerjaannya mencuci sayur-sayuran yang di panen, merajut syal untuk di jual dan menjadi binatu. Dari perkejaannya cukup untuk membeli makan ia dan Jinhee.

Bagi Jiyeon, Jinhee adalah semangat hidupnya. Setiap panggilan yang terucap di mulut Jinhee, membangkitkan Jiyeon dari kelam. Hanya Jinhee satu-satunya yang Jiyeon miliki. Terkadang Jiyeon merasa iba dengan Jinhee yang sebentar lagi mendaftar sekolah taman kanak. Uang yang dihasilkan Jiyeon tidak mampu menyekolahkan Jinhee. Sesak Jiyeon rasakan, karena kecacatannya, Jinhee tidak bisa sekolah bersama teman-temannya.

.

.

.

Hari mulai kian malam, Jiyeon dan Jinhee bersiap-siap tidur. Seperti biasa Jinhee mengambil air hangat dari kamar mandi, ia tadahi di baskom putih berukuran sedang. Kemudian ia membawa air ke kamar. Pelan-pelan Jinhee meletakannya di lantai di hadapan Jiyeon yang sedang duduk menunggu Jinhee.

Jiyeon tersenyum simpul mendengar suara baskom saat diletakan lantai. Ia tau Jinhee sudah duduk menunggu Jiyeon membersihkan mukanya. Jiyeon pun mencari tangan Jinhee, dengan tanggap Jinhee menggenggam tangan Jiyeon. Lantas tangan Jiyeon dan Jinhee masuk ke baskom. Jiyeon membersihkan tangan Jinhee, kemudian membasuh muka Jinhee lalu mencuci kakinya.

Usai merawat Jinhee, ia menyeka air pada wajah, tangan kemudian kaki Jinhee mengunakan handuk. Setelah itu Jiyeon mengusapkan pelembab khusus anak-anak di tangan serta kaki Jinhee.

Jinhee membuang air baskom ke tempat cuci dapur. Cepat-cepat Jinhee kembali ke kamar tak sabar membacakan cerita kepada Jiyeon. Jinhee duduk di kasur lipat di sebelah Jiyeon. Jiyeon memiringkan badannya menghadap Jinhee. Mendengarkan anaknya membacakan cerita dongen tentang putri Pyung Kang dan Ondal. Jinhee memang tidak lancar membaca, tapi Jiyeon tetap bersyukur Jinhee mampu membaca berkat tetangganya yang baik hati mau mengajarkan Jinhee membaca.

“Pyung Kang goongju pun hidup bahagia dengan ondal, keu’t!” Jiyeon bertepuk tangan untuk Jinhee.

“Geunda, eomma, apa ondal benar-benar bodoh?” tanya Jinhee yang masih duduk sila sambil memangku buku dongennya.

“Ondal tidak bodoh, ondal orang yang polos, berbeda dengan orang lain. Ondal melakukan apapun demi mendapat nafkah untuk ibunya yang sakit. Ia hanya meiliki seorang ibu,”

“Seperti aku?” tanya Jinhee.

“Ah, Jinhee tidak suka?” Jiyeon jadi merasa bersalah. Apalagi ia tidak dapat melihat ekspresi Jinhee. Jiyeon pun cemas.

“Bukan begitu eomma, aku suka membantu eomma,”

“Mianhae Jinhee, andai saja-“

“Umurku 17 tahun aku pasti menolong eomma, jadi eomma harus kuat, ne~” aegyo Jinhee.

Jinhee masuk ke dalam selimut. Tidur di sebelah Jiyeon, lantas Jiyeon memeluk tubuh mungil Jinhee.

.

.

.

Kurang beberapa hari lagi pendaftaran sekolah dibuka, Jiyeon makin gelisah memikirkan biaya. Lantas Jiyeon pergi bersama Jinhee mengunjungi rumah tetangga. Jiyeon membiarkan Jinhee bermain dengan Kiyoon di halaman. Sang pemilik rumah menjamu Jiyeon teh hangat. Ia bernama Hwon Pil. Jiyeon memiliki kepercayaan penuh kepada namja tersebut. Hanya di satu-satunya harapan Jiyeon.

Jiyeon menjelaskan semua perkara yang ia miliki pada Hwon Pil. Hwon Pil tanpa ragu-ragu menolong Jiyeon. Walaupun begitu, Jiyeon masih berat melepas Jinhee. Tapi Jiyeon tetap harus pergi jauh mencari kerja sementara itu Jinhee diasuh oleh tetangganya.

“Hwon Pil-ssi, saya tidak tahu bagaimana caranya saya membalas kebaikan anda,”

“Tak perlu anda membalasnya, saya melakukannya karena Jinhee sudah seperti anak saya sendiri,”

“Lalu bagaimana dengan istri anda, saya takut akan merepotkan beliau,”

“Tentu saja ia senang Jinhee tinggal di sini,”

“Benarkah, saya sangat senang mendengarnya, kalian begitu banyak menolong saya. Saya malu hanya bisa merepotkan kalian,”

“Bagaimana anda bisa anda berpikir seperti itu, anda juga membantu kami,”

“Tapi berbeda bobotnya,”

“Tak usah dipikirkan, omong-omong anda kembali dari kerja kapan?”

“Saya kurang tau lebih jelasnya, yang pasti saya akan mengirim surat untuk Jinhee dan mengirim uang,”

“Apa anda sudah dapat kendaraan untuk pergi ke sana, kalau belum saya bisa mengantar anda ke sana,”

“Tak usah repot-repot, perusahaan sudah mengirim kendaraan untuk menjemput saya,”

“Baguslah, jadi anda akan berangkat sekarang,”

“Ne, hari ini dan saya sudah ditunggu di depan,”

“Kalau begitu saya antar ke depan,”

Mereka berjalan menuju halaman, sesampai di tempat Jiyeon berpamitan pada Jinhee. Jiyeon memeluk Jinhee, entah Jiyeon merasa ini terakhir kalinya ia memelik anaknya. Airmata menetes deras, Jinhee pun ikut menangis karenanya. Jiyeon melepas pelukannya, berpegangan pada kedua bahu Jinhee seraya mengusap airmata Jinhee.

“Jangan menangis sayang, eomma pasti kembali membawa Jinhee ke kota dan menyekolahkan Jinhee di sana, jadi Jinhee harus sabar, ne.” Jiyeon iba melihat Jinhee yang masih menangis.

“Gajimaa, eommaaa hskkk shhk,” pintanya tersendat-sendat.

“Kalau eomma tidak pergi Jinhee tidak bisa tumbuh pintar,”

“Aniya, aku bisa jadi Ondal dan menolong eommaaaa, hsk hsk!” Jinhee kini meninggikan suaranya.

“Arraseo, eomma sekarang yang jadi Ondal menolong Jinhee. Setelah umur Jinhee 17 Jinhee baru boleh jadi Ondal,”

“Shiireoooo!!” rengeknya.

“Jinhee sekarang tidak bisa jadi Ondal, karena Jinhee masih kecil. Tunggu beberapa tahun lagi itu tidak lama Jinhee. Dan eomma pasti mengirim surat untuk Jinhee. Mengirim banyak mainan untuk Jinhee, Jinhee pasti senang,”

“Aniya, aku tidak mau mainan! Aku mau bersama eomma!!” Jinhee memeluk erat leher Jiyeon.

“Hee-ya, kendaraan sudah menunggu eomma, eomma tidak boleh terlambat,” rintih Jiyeon.

“Shireooo! Shireooo! Shireooo!!” teriak Jinhee histeris.

“Hwon Pil-ssi, eotteokhe,” rintih Jiyeon.

Hwon Pil pun memisahkan mereka, walau berat namun Jiyeon yang meminta. Hwon Pil menggendong Jinhee. Si kecil Kiyoon pun mengantar Jiyeon menuju kendaraan sesuai perintah Hwon Pil. Jinhee memberontak, mengeliat dalam pelukan Hwon Pil berusaha lepas lalu mengejar Jiyeon. Namun tenaga Jinhee lemah untuk melawan kekuatan orang dewas.

“Eomma!! Eomma!! Eomma!!” teriak Jinhee yang menangis seru.

Jiyeon tetap melanjutkan langkahnya bersama Kiyoon yang menuntun. Teriakan Jinhee membuat langkah Jiyeon terasa berat. Jiyeon hanya bisa memohon segalanya akan baik-baik saja, berharap ia diberi kesabaran hingga waktunya tiba ia dan Jinhee dapat hidup bersama kembali.

Tepat di depan pintu mobil. Jiyeon jongkok di depan Kiyoon. Ia meletakan tangannya di ada kepala Kiyoon lalu merambat menagkup pipi Kiyoon. Jiyeon dapat merasakan kedua pipi Kiyoon lembab karena Kiyoon juga menangis. Jiyeon tersenyum pada Kiyoon.

“Kiyoon-ah, berjanjilah padaku kau akan menjaga Jinhee,” ujarnya seiring senyuman.

“Ne-ee..” isak kecil Kiyoon.

“Anak baik, aku mengandalkanmu, sekarang ajumma pergi,”

“Ne-ee. . hskk”

“Annyeong,”

Sang supir menolong Jiyeon masuk mobil. Mobil tersebut mulai pergi menjauh besama Jiyeon. Membawanya ketempat kerjanya, jauh dari Jinhee. Tidak tau berapa lama Jiyeon dapat bertahan tapi dengan mengingat masa depan Jinhee, Jiyeon harus bisa bertahan lama.

.

.

.

.

5 tahun kemudian. . .

Jiyeon dibantu rekan kerjanya, menuntun Jiyeon menuju bangsal nomor 5. Jiyeon menitikan airmatanya begitu deras hingga merahlah kedua matanya. Hatinya berdebar-debar setelah mendengar kabar mengenai keadaan Jinhee.

Sebelumnya Jiyeon sedang berkerja membuat khusus untuk orang buta seperti dirinya. Tiba-tiba rekan kerjanya memberitau pada Jiyeon bahwa Jinhee dalam keadaan koma di rumah sakit yang tidak jauh dari tempat ia berkerja. Lantas Jiyeon berangkat bersama temanya menuju rumah sakit tersebut.

Ketika masuk Jiyeon tidak bisa memeluk Jinhee karena ia tidak tau keadaan Jinhee seperti apa. Jiyeon bertanya pada rekan kerjanya, bagaimana kondisi Jinhee yang tertidur depannya sekarang. Rekan kerja Jiyeon mau tak mau harus memberitau keadaan Jinhee. Ia memberi tau pada Jiyeon bahwa tubuh Jinhee banyak kabel yang tertempel, Jinhee pun menggunakan tiga macam infus yang ia sendiri tidak tau keguanaannya masing-masing. Dan juga wajah serta tubuh Jinhee terlihat kerbiru-biruan dimana-mana.

Panas begitu menyakitkan dirasa Jiyeon, tak kuasa ia menahan tubuhnya, Jiyeon ambruk di lantai. Duduk menangis menjadi-jadi. Ia bertanya-tanya kenapa Jinhee mengalami hal yang begitu malang. Kenapa harus anaknya dari sekian jumlah anak di dunia. Jiyeon merasa hidupnya tidak adil. Hatinya pecah menjadi beberapa keping.

.

.

.

Malam hari Jiyeon mengusap tangan Jinhee dengan handup perlahan. Ia dapat merasakan tangan Jinhee membengkak. Satu tetes keluar dari matanya, mencoba tetap tenang walaupun dalam hati Jiyeon menjerit kesakitan.

Tiba-tiba seorang suster datang memberi obat pada Jinhee yang terbaring koma. Setelah usai dengan perawatan, sang suster menuntun Jiyeon kekantor dokter yang mengurus Jinhee, atas permintaan dokter. Sesampai di tempat, dan Jiyeon sudah duduk di depan sang dokter dibantu oleh suster.

Sang dokter menuangkan teh di canngkir. Sang dokter tidak lupa memberitau posisi teh tersebut pada Jiyeon.

“Jadi, apa yang terjadi pada anak saya dok?” tanya Jiyeon lemah.

“Anak anda mengalami tindak kekerasan oleh tetangga anda. Saya kurang tau kenapa tapi kasus ini sudah diurus oleh pihak yang berwajib jadi anda tidak perlu cemas. Yang terpenting sekarang keadaan Jinhee. Saat ia mencoba kabur dari rumah ia tak sengaja tertabrak sebuah truk, beruntung Jinhee anak yang kuat ia masih bertahan walaupun sekarang keadaannya koma. Dan hal yang saya cemaskan adalah ketika Jinhee sadar, saya takut Jinhee tak akan bisa menunjukan perasaannya lagi. Ia mungkin akan hidup seperti patung.”

Karena tubuhnya lemah akan perkataan sang dokter, Jiyeon pingsan ambruk di atas lantai. Lantas sang dokter beranjak dari kursinya langsung mengangkat tubuh Jiyeon ke unit gawat darurat.

.

.

.

.

1minggu kemudian.

Takdir berkata lain. Jinhee hidup bukan sebagai patung, Jinhee meninggalkan dunia dimana Jiyeon hidup. Jinhee tepat dibulan desember, 22-2015, pukul 23:08, mengalami kritis selama 6 jam.

Setelah kejadian tersebut. Jiwa Jiyeon ikut terebut. Ia hidup seperti es. Dingin tanpa hangatnya kehadiran Jinhee disampingnya. Sang dokter mengunjungi rumah Jiyeon yang berada di apartement kecil di Seoul.  Betapa sepi yang Jiyeon rasa. Mendalam hingga orang lain iba melihatnya.

Dokter itu duduk di depan Jiyeon. Ia memberitahu Jiyeon bahwa ia dapat melakukan operasi mata gratis, hadiah dari rumah sakit.

“Bagaimana menurut anda?” tanya sang dokter.

“Terimakasih atas kebaikan pihak rumah sakti, tapi saya menolak tawaran ini,” jawab Jiyeon lemah.

“Apa anda tidak ingin melihat lagi?”

“Didunia ini yang ingin saya lihat hanyalah Jinhee .  .  . . anak saya  . . .  satu-satunya. Jinhee sudah pergi dari dunia, itu berarti saya tidak ada alasan lagi untuk melihat dunia yang menyedihkan ini. Lebih baik saya dalam kegelapan seumur hidup daripada menodai mata saya dengan penampakan kekejaman manusia. Semuanya buruk tanpa Jinhee, anak yang malang karena ibunya yang cacat. Senyuman hangat telah hilang bersamanya.”

.

.

.

.

..Tamat . .

27 thoughts on “Eomma by S.S Donquixote

  1. yah, kenapa nasib jiyeon kaya gitu, aku tidak rela bolwh sequel gak thor, bikin jiyeon bahagia… jongsuk juga cinta banget sama jiyeon tuh kayaknya..

    Suka

  2. ini part 1 atau.bgmn??

    namggung nick eh slh ss y nama penamu

    aduh.udh bgs nick.lo hahahaa

    kerennn eui tpi masih penasarannnn dmn jongsuk
    sequelll dong

    apa dokter it jg.memiliki.peran pwran penting??
    aaaA sequel ya harus hahahaa

    Suka

  3. ini part 1 atau.bgmn??

    namggung nick eh slh ss y nama penamu

    aduh.udh bgs nick.lo hahahaa

    kerennn eui tpi masih penasarannnn dmn jongsuk
    sequelll dong

    apa dokter it jg.memiliki.peran pwran penting??
    aaaA sequel ya harus hahahaa

    Suka

  4. kisah jiyeon banyak diceritakan dari sudut pandang ke tiga jadi berasa mendengar,kalau bisa dari sudut pandang cast donk biar pembaca bisa ikut merasakan ,biar fellnya lebih dapat lagi…tapi ceriitanya bikin nangis..btw ada sequell kan,itu si jongsyuk apa kabarnya?

    Suka

Tinggalkan komentar